Kamis, 17 Mei 2012

ATRIBUSI

Pengertian Atribusi
Atribusi merupakan proses-proses untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku orang lain dan kemudian diketahui tentang sifat-sifat menetap dan disposisi mereka (Baron dan Byrne, 2003: 49). Atribusi juga dapat diartikan dengan upaya kita untuk memahami penyebab dibalik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga penyebab perilaku kita sendiri. Untuk mengetahui tentang orang-orang yang ada di sekitar kita dapat melalui beberapa macam cara:
1.    Melihat apa yang tampak (fisik). Misalnya cara berpakaian, cara penampilan diri.
2.    Menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, misalnya tentang pemikiran, tentang motif.
3.    Dari perilaku yang bersangkutan. Hal ini merupakan sumber yang penting.

Macam Atribusi

Menurut Heider (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 102), Atribusi dapat dibedakan menjadi:

1.    Atribusi Internal
Jika perilaku seseorang yang diamati disebabkan oleh factor-faktor internal, misal sikap, sifat-sifat tertentu, ataupun aspek-aspek internal yang lain. Contoh, jika anak memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena anak itu malas, terlalu banyak main, atau bodoh.

2.    Atribusi Eksternal
Jka perilaku sosial yang diamati disebabkan oleh keadaan atau lingkungan di luar diri orang yang bersangkutan. Contoh, jika anak memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena ada masalah dengan lingkungannya, orang tuanya bercerai, hubungan yang jelek dengan orang tua, ditekan oleh teman-teman, ataupun gurunya yang tidak menarik.

Teori-teori Atribusi

1.    Teori Correspondent Inference (penyimpulan terkait)
Teori ini dikemukakan oleh Jones dan Davis (dalam Baron dan Byrne, 2003: 49-51). Menurut teori ini perlunya memusatkan perhatian pada perilaku yang dapat memberikan informasi, yaitu:
  • Perilaku yang timbul karena kemauan orang itu sendiri atau orang itu bebas memilih kelakuannya sendiri perlu lebih diperhatikan dari pada perilaku karena peraturan atau ketentuan atau tata cara atau perintah orang lain. Misalnya, kasir yang cemberut atau satpam yang tersenyum lebih mencerminkan keadaan dirinya dari pada kasir yang harus tersenyum atau satpam yang harus galak. Demikian juga mertua yang baik kepada menantu (walaupun ia dapat saja galak) atau orang yang memberi tempat duduk pada wanita tua di bus yang penuh sesak (walaupun ia dapat saja tetap duduk) benar-benar mencerminkan atribusinya sendiri karena merekamempunyai pilihan sendiri.
  • Perilaku yang membuahkan hasil yang tidak lazim lebih mencerminkan atribusi pelaku dari pada yang hasilnya yang berlaku umum. Misalnya, wanita yang mau dengan pria yang gendut, jelek, miskin, tapi penuh perhatian, lebih dapat diandalkan cintanya dari pada wanita yang suka kepada pria ganteng, kaya, dan berpendidikan tinggi. Contoh lainnya, seorang lulusan SMA yang pandai dan dapat diterima di fakultas Kedokteran atau fakultas Ekonomi, tetapi Ia justru memilih jurusan Ilmu Purbakala, lebih jelas motivasinya dari pada siswa yang prestasinya rata-rata, tetapi bersikeras masuk ke fakultas Kedokteran atau ekonomi
  • Perilaku yang tidak biasa lebih mencerminkan atribusi dari pada perilaku yang umum. Misalnya, seorang pelayan toko menunjukkan toko lain kepada pelanggannya yang menanyakan barang yang tidak tersedia di toko tersebut. Contoh lainnya, seorang pria muda yang mencintai wanita setengah baya yang belum menikah.

2.    Teori sumber perhatian dalam kesadaran (conscious resources)
Teori ini menekankan proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan persepsi (pengamatan). Gilbert dkk. (dalam Sarlito Wirawan, 1999: 104-105) mengemukakan bahwa atribusi harus melewati kognisi, dan dalam kognisi melewati tiga tahap, yaitu:
  • Kategorisasi. Dalam tahap ini, pengamat menggolongkan dulu perilaku orang yang diamati (pelaku) dalam jenis atau golongan tertentu sesuai denggan bagan atau skema yang sudah terekam dalam kognisi pengamat (dinamakan skema kognisi). Misalnya, dalam skema kognisi john sudah ada golongan-golongan perilaku, yaitu ramah, bersahabat, curang, mau menang sendiri dan sebagainya. Pada awalnya john menggolongkan perilaku Wayan dalam ramah dan bersahabat, tapi sejak Wayan membawa kemenakannya tanpa persetujuannya, perilaku wayan dikategorikan sebagai curang, dan tidak memperhatikan teman.
  • Karakterisasi. Pengamat membuat atribusi kepada pelaku berdasarkan kategorisasi tersebut. Jadi, John memberi sifat baik hati dan bersahabat kepada Wayan ketika Ia berada di Bali, sementara waktu di Jakarta John mengatribusikannya sebagai curang, dan tidak memperhatikan teman karena membawa kemenakannya tanpa izin.
  • Koreksi. Tahap yang terakhir adalah mengubah atau memperbaiki kesimpulan yang ada pada pengamat tentang pelaku. Dalam kasus John, ia mengoreksi simpulannya tentang Wayan dari orang yang ramah dan bersahabat menjadi orang yang curang dan tidak memperhatikan teman sejak John mendapat informasi baru tentang perilaku Wayan selama Ia dan kemenakannya berada di Jakarta.

3.    Teori atribusi internal dan eksternal dari Kelly (1972; Kelly & Michela, 1980)
Menurut teori ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah perilaku beratribusi internal atau eksternal, yaitu:
  • Konsensus. Consensus merupakan derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu dengan orang yang sedang kita observasi. Apakah suatu perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi yang sama. Makin banyak yang melakukannya, makin tinggi consensus, dan sebaliknya.
  • Konsistensi. Konsisten adalah derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap stimulus atau peristiwa yang sama pada waktu yang berbeda. Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang sama. Kalau “ya”, konsistensinya tinggi, kalau “tidak”, konsistensinya rendah
  • Distingsi atau kekhususan. Distingsi merupakan derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-beda. Apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama di masa lalu dalam situasi yang berbeda-beda. Bila seseorang memberikan reaksi yang sama terhadap stimulus yang berbeda-beda, maka dapat dikatakan orang yang bersangkutan memiliki distingsi yang rendah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Kelly berpendapat bahwa atribusi internal, atribusi eksternal, dan atribusi internal-eksternal mempunyai corak determinan yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Macam atribusi
Determinan    Atribusi
internal    Atribusi
eksternal    Atribusi
internal-eksternal
Konsensus    Rendah    Tinggi    Rendah
Konsistensi    Tinggi    Tinggi    Tinggi
Distingsi    Rendah     Tinggi    Tinggi

4.    Atribusi karena faktor lain (Baron & Byrne, 1994)
Kalau seorang ibu marah-marah kepada anaknya, atribusi yang mungkin diberikan oleh orang yang menyaksikan (pengamat) adalah bahwa ibu itu (pelaku) galak kepada anaknya. Apalagi, jika marah-marah itu dilakukan di depan orang lain yang seharusnya tidak menyaksikan perilaku seperti itu (misalnya di hadapan guru anaknya), kesan atribusi internal (ibu itu memang galak) akan lebih kuat lagi. Akan tetapi, jika ibu itu marah karena tiba-tiba anaknya menyeberang jalan sekenanya dan hampir tertabrak mobil, simpulan pengamat cenderung pada atribusi eksternal dari pada internal (pantas ibu itu marah-marah karena anaknya nakal, melakukan hal yang berbahaya).

Kesalahan Atribusi

Bagaimanapun juga, pemberian atribusi bisa salah. Kesalahan itu menurut Baron & Byrne (dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1999: 109-112) dapat bersumber dari beberapa hal, yaitu:

1.    Kesalahan atribusi yang mendasar (fundamental error)
Yaitu kecenderungan untuk selalu memberi atribusi internal. Menurut Robert A. Baron dan Donn Byrne (2003: 58)  kesalahan atribusi fundamental merupakan kecenderungan yang terlalu berlebihan dalam memperhitungkan pengaruh faktor disposisi pada perilaku seseorang. Padahal ada kemungkinan besar pula perilaku perilaku disebabkan oleh faktor eksternal (adat, tradisi, kebiasaan masyarakat, dan sebagainya).

2.    Efek pelaku pengamat
Kesalahan ini adalah kecenderungan mengatribusi perilaku kita yang disebabkan oleh faktor eksternal, sedangkan perilaku orang lain disebabkan oleh faktor internal. Misalnya, jika ada orang lain yang jatuh terpeleset, kita katakana dia tidak hati-hati. Akan tetapi, jika kita sendiri yang terpeleset dan jatuh, kita katakan bahwa lantainya yang licin. Hal ini disebabkan karena kita memang cenderung lebih sadar pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku kita dari pada yang mempengaruhi perilaku orang lain. Oleh karena itu kita cenderung menilai perilaku kita disebabkan faktor eksternal dari pada internal. Proses persepsi dan atribusi sosial tidak hanya berlaku dalam hubungan antar pribadi, melainkan juga terjadi dalam hubungan antar kelompok, karena pada hakikatnya prinsip-prinsip yang terjadi di tingkat individu dapat digeneralisasikan ke tingkat antar kelompok.

3.    Pengutamaan diri sendiri (self-serving biss)
Kesalahan mengutamakan diri sendiri adalah kecenderungan mengatribusi perilaku kita yang positif pada faktor-faktor internal, dan mengatribusi perilaku yang negative pada faktor-faktor eksternal. Misalnya, jika kita mengerjakan tugas dan mendapatkan pujian “tugas yang luar biasa” mungkin kita akan menjabarkan dengan faktor-faktor internal (kita berbakat, kita mengerjakannya dengan serius, dan lain sebagainya), tetapi jika sebaliknya, tugas kita mendapat celaan “tugas yang sangat buruk” maka kemungkinan besar kita akan mengatakan bahwa penyebabnya adalah faktor-faktor eksternal (dosen tidak adil dalam memberi nilai, kita tidak punya cukup waktu untuk mengerjakan, dan lain-lain).   Setiap orang cenderung untuk membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Dalam hubungan antarpribadi, kecenderungan untuk memberi atribusi internal maupun eksternal pada hal-hal yang negatif ini dipengaruhi oleh kepribadian pengamat.

Aplikasi Teori Atribusi

1.    Atribusi dan depresi
Depresi adalah gangguan psikologis yang paling umum, yang sering disebabkan oleh pola atribusi untuk menyalahkan diri sendiri (self-defeating). Biasanya orang depresi mengatribusi hasil-hasil negative dari prilaku mereka yaitu faktor-faktor internal seperti sifat dan ketidakmampuan. Sebaliknya hasil-hasil positif dinilai sebagai hal yang bersifat temporer dan berasal dari faktor eksternal seperti nasib baik atau pertolongan orang lain.hasilnya orang tersebut tidak merasa memiliki, atau sedikit sekali, kontrol atas hal-hal yang terjadi pada dirinya. Akhirnya mereka menjadi demikian depresi dan cenderung mudah menyerah dalam hidup.
Berbagai teknik terapi yang bertujuan untuk membuat orang yang depresi merubah atribusinya yaitu dengan mulai memberi nilai tambah personal pada kesuksesan mereka, berhenti menyalahkan diri sendiri atas setiap kegagalan, dan mencoba memandang beberapa kegagalan tersebut sebagai faktor eksternal yang ada diluar jangkauan mereka. Terapi seperti ini tidak mengeksplorasi lebih dalam tentang berbagai hal seperti kehendak yang terpendam, konflik pribadi, atau peristiwa-peristiwa traumatik yang terjadi semasa kecil.

2.    Atribusi dan prasangka
Misalnya, ketika ada seorang berasal dari dari kelompok minoritas yang melamar pekerjaan kemudian ditolak. Orang itu berprasangka bahwa ia ditolak karena dia berasal dari kelompok minoritas.

2 komentar:

  1. Alhamdulillah merasa terbantu,terimakasih kakak. semangat bismillah bisa hasilkan suatu karya sama seperti kakak

    BalasHapus